Wednesday, February 15, 2012

Let Me.

From my "Valse L'adieu" piece.


 Final chapter 


 L'adieu






~OoO~






"Kamu makin kurus." 


Laki laki berambut pirang itu menegur seorang wanita remaja yang baru saja kembali dari Paris itu. Gadis itu hanya tersenyum lemah, dan berjalan mendahului anak yang bernama Kenji tersebut. 


"Senang kau kembali ke Jepang. Kami sangat mengkhawatirkan keadaanmu disana." ujarnya sambil menyusul Akito. Lagi lagi, gadis itu hanya menjawabnya dengan senyum, kali ini sambil merapatkan jaket tebalnya itu.


Kesunyian melanda mereka ketika Kenji mengantarkannya ke mobil. Tidak ada yang memulai pembicaraan dalam perjalanan mereka. Akito hanya menatap kosong keluar jendela, mengamati salju yang turun dengan perlahan. Kenji yang duduk disamping gadis itu pun menoleh kearahnya.


Ditatapnyalah wajah yang 5 bulan ini tidak ia lihat. Ia sangat merindukan senyumnya, tawanya, candanya, dan permainan pianonya. Nada nada yang lembut yang keluar dari permainannya membuatnya semakin merindukannya. Di sisi lain, permainannya juga membuatnya berfikir bahwa usia pianis itu diperkirakan tinggal sebentar lagi.


Kenji menghela nafas. Akito memang sudah sangat berubah semenjak Kaori-sensei meninggalkannya tanpa mengucapkan kata perpisahan. Bahkan Akito belum sempat melihat senyum terakhirnya 3 tahun terakhir saat ia berada di Paris. Kenji mengerti bagaimana Akito sangat terpukul ketika kehilangan Ayah yang paling ia sayang.


Kenji mengalihkan pandangannya dari wajah pucat Akito. Kemudian menyaksikan beberapa gedung yang dilewati oleh mobil Kenji.


Tiba tiba Kenji melihat sebuah Cafe sederhana. Kemudian ia teringat sesuatu.


"Stop disini."


Akito menoleh saat Kenji memerintahkan pada supirnya. Dengan patuh, supirnya pun langsung berhenti di pinggir jalan. Akito memasang pandangan bingung.


"Em....seingatku rumahku bukan di sekitar sini..."


"Memang bukan. Ayo ikut aku."


Setelah Kenji menyuruh tuan Osaka pulang terlebih dahulu, ia menuntun Akito ke Cafe tersebut. Sedangkan Akito hanya menurut dan mengikuti temannya itu.


"Setelah pulang dari Paris, tidak ada salahnya aku mengajakmu berkeliling sebentar 'kan?" ujar Kenji disebelah Akito. Akito menoleh. Kemudian menghela nafas.


"Oke."


Kemudian Kenji membuka pintu tersebut dan membiarkan Akito masuk duluan. Akito menatap sejenak isi dari Cafe tersebut. Dan matanya tertuju pada dua piano hitam dan putih yang saling berhadapan. Kenji tersenyum saat mendapati arah pandangan Akito.


"Aku sering kesini saat kau di Paris. Walaupun sederhana, tapi Kafe ini sangat nyaman. Makanannya enak enak. Kau harus mencobanya sesekali. Um....jika kau ingin mencoba makanan pembuka disana...silahkan saja. Aku sudah kenal dekat dengan pelayan pelayan disini." ucap Kenji sambil menunjuk piano tersebut. Akito menatap Kenji sejenak kemudian tersenyum.


"Terimakasih."


Perlahan Akito pun naik ke panggung yang terdapat piano disitu. Dan duduk di kursi piano berwarna putih. Saat itu Kafe masih sepi, belum banyak pengunjung. Kenji menyusul Akito dan duduk di hadapannya, tepatnya di kursi piano hitam.


Akito pun mulai memainkan lagu Tristesse.


Kenji menghela nafas.


Ia menatap Akito yang memainkan lagu itu dengan penuh penghayatan. Wajahnya masih tampak pucat. Matanya sayu seperti orang yang kurang tidur. Kenji menaikkan sebelah alis matanya.


"Jika kau bermain lagu itu, kau tampak seperti orang yang sedang kehilangan semangat hidup."


Akito mengabaikannya dan terus bermain lagu itu. Kenji menatapnya kosong.


'Kaori-sensei benar benar mempengaruhinya 80 persen..' batin Kenji.


Kenji pun meletakkan jari jarinya ke tuts piano yang berhadapan dengan piano yang dimainkan Akito. Perlahan menekan tuts tuts itu seakan akan mengetes nada nadanya. Akito meliriknya datar sambil tetap bermain. Keito tersenyum sambil menatap tuts tersebut. Kemudian ia menoleh pada pelayan yang menatapnya seakan akan menunggu sesuatu. Ia tersenyum kembali.


"Hey Akito."


Akito meliriknya kembali. Kenji menyeringai.


"Cobalah lagu seperti ini."


Kenji dengan percaya diri langsung menekan satu persatu tuts tersebut. Treble Clef dan Bass Clef ia mainkan dengan sempurna. Tidak lupa dinamikanya. Akito tertegun melihat Kenji yang memainkan lagu klasik Chopin - Black Keys.


"Kenji!"


Kenji menghentikan permainan piano-nya dan menyeringai kearah Akito.


"Apa?"


"Sejak kapan kau bisa.....kau bisa memainkan piano?"


"Tentu saja aku bisa. Kau tidak dengar tadi? Kita sama sama memainkan lagu Chopin kan? Namun permainanmu itu membuatku mengantuk. Cobalah bersemangat sedikit!"


"Kau tidak pernah memberitahuku sebelumnya!"


Kenji kembali menyeringai.


"Bukan hanya kau yang bisa bermain biola tanpa sepengetahuanku dan tiba tiba bermain mengiringiku, tau."


Akito tercengang sesaat.


Pasti Kenji berlatih saat dia masih ada di Paris. Melihat ekspresi Akito, Kenji tertawa.


"Ayolah jangan bengong seperti itu. Bagaimana kalau kau mengiringiku bermain sedikit?"


"Menantangku ya? Mentang mentang sudah bisa bermain piano, kau langsung mengajakku duel?"


"Eh? Aku tidak........"


"Oke kalau itu maumu."


Akito membunyikan jari jarinya sambil menatap penuh tantang kearah Kenji yang kini membuka mulutnya, bingung.


Akito mulai memainkan lagu Franz Liszt & Paganini - La Campanella. Ia melirik Kenji penuh arti. Kenji menaikkan sebelah alisnya. Lalu, seperti ia mengerti maksud Akito, dia tersenyum menantang balik. Dia pun memainkan lagu tersebut di oktaf yang berbeda, seperti mengiringi Akito yang menjadi suara 1.


Permainan mereka seperti profesional. Konsentrasi dengan lagu dan bagian masing-masing, membuat mereka tidak sadar bahwa pengunjung mulai ramai, menatap mereka penuh kagum. Pelayan pelayan disana pun juga terkagum kagum dengan penampilan tiba tiba mereka. 


Setelah lagu habis, mereka menghirup nafas dalam dalam. Lagu itu memang sulit. Membawa santai, dan candaan seperti permainan, namun penuh tantangan. 


Pengunjung cafe sekaligus pelayan pelayan disana bertepuk tangan meriah. Sambil mengatur nafas, mereka berdua berdiri dan membungkuk dalam dalam menerima applause dari para audience yang secara tidak sengaja menonton permainan mereka yang iseng.


Kemudian...........


"Uhuk uhuk uhuk!"


Kenji menoleh cepat kearah Akito yang terbatuk saat itu. Gadis itu merogoh kantungnya untuk mencari sesuatu ; sapu tangan. Batuknya makin lama menjadi jadi. Kenji mulai khawatir dan mendekatinya.


"Akito...?"


"Permisi sebentar." 


Dengan cepat, Akito berlari keluar Kafe. Tentu saja Kenji menyusulnya. Ia melemparkan senyum pada pelayan pelayan disana dan langsung mengejar Akito.


Akito bersandar di dinding depan Kafe. Ia masih batuk batuk seperti tadi. Kenji mendekatinya dan menepuk nepuk punggungnya pelan.


"Kau tidak apa apa, Akito?"


Akito menjauhkan sapu tangannya dari mulutnya. Dan saat itulah Kenji melihat bercak merah disekitar bibir bawahnya.


"Astaga, Akito! Kau......."


Dengan cepat Akito menyadari apa yang Kenji lihat. Dan segera menghapus bercak merah tersebut menggunakan sapu tangannya. Ia menunduk lemah sambil memasukkan sapu tangannya kedalam kantungnya. Ia merapatkan jaket tebalnya ke tubuhnya. Kenji meneguk ludahnya.


"Maafkan aku."


Akito menoleh keatas, mensejajarkan mata hazel-nya dengan mata ocean milik Kenji.


"Untuk apa?"


"Harusnya aku langsung membawamu pulang untuk istirahat.. Bukan mengajakmu berjalan jalan seperti ini." ucap Kenji lirih. Ia tertunduk menyesal.


"Hahaha. Kau ini. Tidak perlu meminta maaf. Permainan pianomu itu cukup menjadi hadiah kepulanganku ke Jepang." Kenji terkejut mendengar jawaban dari temannya itu. Gadis itu tersenyum manis kearah Kenji. 


"A...aku..."


"Sekarang kita mau jalan jalan kemana lagi? Kau belum lelah kan? Kalau kau lelah, kau payah." ledek Akito pada remaja itu. Kenji menatap Akito sejenak. Kemudian tersenyum lemah.


"Tentu saja belum. Ayo, aku tau tempat bagus untuk jalan jalan." 


Dengan begitu Kenji meraih tangan kecil nan lentik milik Akito. Menariknya lembut ke suatu tempat.


~OoO~




"Selama lima bulan ini, kau menjadi traveler ya? Tempat ini belum pernah kukunjungi."


Kenji tertawa kecil mendengar ucapan Akito.


"Tentu saja. Bermain biola tanpa pianis langganan ku yang mengiringi, rasanya bosan sekali."


"Hah dasar. Kau kan bisa mencari pianis lain selain aku."


"Ah, tidak seru. Aku hanya ingin kau yang mengiringiku."


"Kau ini ada ada saja." Akito menggeleng gelengkan kepalanya. Kenji tersenyum pahit. Mengingat penolakan Akito 5 bulan yang lalu.


Mereka berjalan jalan di suatu taman yang cukup besar. Taman itu tidak banyak dikunjungi. Karena ini musim dingin. Namun menurut Akito cukup indah dan nyaman. Akito dapat merasakan jika musim semi disini, bunga Sakura akan bermekaran dan menghiasi setiap penjuru taman. 


Akhirnya mereka sampai di sebuah pohon yang menjulang tinggi. Akito menoleh kearah temannya, bingung mengapa ia mengajaknya kesini.


"Hey Akito."


"Hm?"


"Jika ini musim semi, orang orang akan berdatangan kesini dan berdoa didekat pohon ini. Jumlahnya tidak sedikit."


"Ha? Kenapa harus di pohon ini?"


"Konon katanya, ada dua pasangan yang bertemu di daerah ini. Makin sering mereka bertemu disini, akhirnya mereka menjadi sepasang kekasih dan usia mereka juga masih tergolong sangat muda. Maka dari itu, mereka menyembunyikan hubungan mereka dari orang tua mereka."


Kenji berhenti sejenak.


"Namun, sang lelaki disekolahkan oleh orangtuanya di Amerika. Akhirnya dengan berat hati mereka berpisah. Mereka menanam pohon disini. Sang lelaki itu berjanji, ketika pohon ini tumbuh, ia akan kembali. Pohon ini akan menjadi lambang, walaupun sangat lama sang lelaki meninggalkan kekasihnya, namun cintanya dan rasa rindunya akan semakin tumbuh dan besar, seperti pohon ini. Dengan berat hati, mereka pun berpisah dan berjanji akan bertemu di pohon ini suatu hari nanti."


Akito menatap serius Kenji yang sedang bercerita.


"5 tahun kemudian, laki laki itu kembali ke Jepang setelah menyelesaikan studinya. Seperti janjinya, ia akan menemui kekasihnya itu di pohon tersebut. Namun, saat ia sampai ke pohon tersebut. Tampaklah sang kekasih yang tersandar lesu di pohon tersebut. Laki laki itu dengan senyum bahagia menghampiri kekasihnya."


"Lalu?"


"Ternyata kekasihnya mengidap penyakit yang cukup serius. Mengetahui hidupnya takkan lama lagi, ia kabur dari Rumah Sakit lalu menghampiri pohon tersebut. Dan ia wafat disana. Sang lelaki sangat terpukul dan sedih . Semenjak itu, ia selalu datang ke pohon itu setiap hari. Bahkan sampai ia tua. Dan ia pun menghembuskan nafas terakhir di pohon ini."


Akito masih serius mendengarkan kisahnya.


"Yah, kata orang orang, mereka hidup sebagai peri permohonan pohon ini. Mereka menjadi pasangan bahagia disini. Dan karena kebahagiaan mereka, setiap pengunjung disini yang berdoa, pasti akan dikabulkan. Aneh ya kisahnya. Kau percaya tidak?"


"Hm....sebenarnya sedikit seram mengingat pohon ini ada penghuninya. Tapi belum tau juga kalau belum dicoba."


Akito mengepalkan tangannya dan memejamkan matanya. Seraya menunduk khusyuk. Kenji dibuat bingung oleh Akito. 


"Kau sedang apa?"


"Berdoa. Kau berdoa juga. Siapa tau dongeng itu benar 'kan?" kata Akito menoleh. Kenji memasang raut bingung. Akito pun melanjutkan doanya.


Dengan menatap Akito di sebelahnya dengan khusyuk berdoa, ia pun akhirnya memejamkan matanya.


Jika dongeng itu benar, aku memohon, semoga Akito mendapatkan umur yang panjang. Semoga ia mendapatkan kebahagiaannya lagi. Biarkanlah Akito terus di sisiku walaupun aku tidak isa mendapatkannya. Tapi aku akan selalu berdiri disampingnya, mensupportnya walau dalam keadaan apapun. Biarkanlah Akito sembuh dari penyakitnya. Semoga aku tidak kehilangan setiap alunan musik yang dimainkan oleh Akito. Semoga aku dapat bermain biola dengan Akito disampingku, melatih jari jari kecil lentiknya dengan wajah berseri. Dan jika dongeng itu benar, tolong, berilah aku kesempatan untuk berjuang mendapatkannya. Dan suatu hari nanti, aku akan bisa menatap wajah Akito yang masih tertidur setiap hari, dan aku dapat melihat Keitaro-Hiromasa kecil yang berlarian di sekeliling rumah, sambil bercanda menggenggam tangannya. Semoga aku mendapat kesempatan suatu hari nanti, duduk di kursi goyang disamping Akito, melihat generasi-ku selanjutnya bermain dan bercanda bersama anak anakku, dengan tawa yang menghiasi kami.


Semoga aku diberi kesempatan, mendengar permainan piano terakhir Akito Hiromasa, menjelang ajalku. Di kursi goyang, disampingnya, dan melihat senyumnya terakhir kali. Karena, jika ia yang terakhir kali aku lihat, itu lebih baik daripada sebentar lagi ia tidak terlihat di kehidupan panjangku.


Jika dongeng ini benar, semoga permohonanku dikabulkan.




"Hei."


"Hah?"


"Sepertinya kau serius sekali berdoanya." Tegur Akito. Kenji tersenyum pahit.


"Aku hanya mengikuti saranmu."


"Memang kau meminta apa?"


"Hm....katanya, kalau permohonan seseorang diberitahu kepada temannya, permohonannya tidak akan dikabulkan."


"Hah, kau juga percaya yang seperti itu juga ternyata."


"Kan kau yang mengajarkanku. Gimana sih?"


"Terserah lah."


Kenji tersenyum puas. Sementara Akito hanya tersenyum lemah dan merapatkan kembali jaketnya.






Happy Valentine!



No comments:

Post a Comment